Hewan Lambang Kebebasan

Lambang Tanda Penghargaan

Tanda Penghargaan adalah lambang yang diberikan kepada anggota Pramuka yang telah memberikan kontribusi besar atau prestasi luar biasa. Contoh tanda penghargaan antara lain Bintang Tahunan, Lencana Wiratama, dan Satya Lencana Melati. Lambang-lambang ini menggambarkan penghargaan atas dedikasi, pengabdian, dan prestasi anggota Pramuka. Lambang-lambang Pramuka bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga merupakan representasi dari nilai-nilai, prinsip, dan semangat yang dianut oleh Gerakan Pramuka. Setiap lambang memiliki makna yang dalam dan filosofis, mencerminkan tujuan dan harapan dari gerakan ini. Dengan mengenal dan memahami lambang-lambang ini, kita dapat lebih menghargai dan mendukung peran penting Pramuka dalam membentuk karakter generasi muda Indonesia. Lambang-lambang ini juga mengingatkan kita akan pentingnya semangat kebersamaan, keberanian, dan dedikasi dalam mencapai cita-cita dan berkontribusi bagi masyarakat.

Kebebasan adalah kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan, atau hak dengan anugerah dan kelebihan yang dimiliki (yaitu hak istimewa).[1] Kebebasan, juga dapat diartikan memiliki kemampuan untuk bertindak atau berubah tanpa batasan. Sesuatu itu "bebas" jika dapat berubah dengan mudah dan tidak dibatasi dalam keadaan sekarang. Dalam filsafat dan agama, kebebasan dikaitkan dengan memiliki kehendak bebas dan keberadaan tanpa batasan yang tidak semestinya atau tidak adil, atau perbudakan, dan merupakan ide yang terkait erat dengan konsep kebebasan.

Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.

Dalam politik modern, kebebasan adalah keadaan bebas dalam masyarakat dari kontrol atau pembatasan berupa penindasan yang diberlakukan oleh otoritas pada berbagai aspek kehidupan, mencakup cara hidup, perilaku, atau pandangan politik seseorang.[2]

Individualis dan konsepsi liberal dari kebebasan berhubungan dengan kebebasan dari individual dari luar keinginan; sebuah prespektif sosialis, di sisi lain, mempertimbangkan kebebasan sebagai distribusi setara dari kekuasaan, berpendapat kalau kebebasan tanpa kesamaan jumlah ke dominasi dari yang paling berkuasa.

Dalam filsafat, kebebasan melibatkan kehendak bebas, berbeda dengan determinisme.[3] Dalam teologi, kebebasan adalah kebebasan dari pengaruh "dosa, perbudakan rohani, atau ikatan duniawi". Terkadang kebebasan dibedakan menjadi dua makna. Pertama, kebebasan (freedom) berarti kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan dan apa yang memiliki kekuatan untuk dilakukan. Sementara kebebasan (liberty) berarti tidak adanya pembatasan sewenang-wenang, dengan mempertimbangkan hak-hak semua yang terlibat. Dalam pengertian ini, pelaksanaan kebebasan tunduk pada kemampuan dan dibatasi oleh hak-hak orang lain.[4]

Dengan demikian, dalam kebebasan (liberty) diperlukan adanya rasa tanggung jawab yang dibatasi pada aturan-aturan hukum yang berlaku tanpa merampas kebebasan (freedom) orang lain. Kebebasan dapat menunjukkan berkurangnya pengekangan atau kemampuan tak terkendali untuk memenuhi keinginan seseorang. Misalnya, seseorang dapat memiliki kebebasan (freedom) untuk membunuh, tetapi tidak memiliki kebebasan (liberty) untuk membunuh, dikarenakan dapat dianggap merampas hak orang lain untuk tidak disakiti. Kebebasan dapat diambil sebagai bentuk hukuman. Di banyak negara, orang dapat dirampas kebebasannya jika mereka dihukum karena tindakan kriminal.

Kata "kebebasan" sering digunakan dalam slogan-slogan, seperti "Kehidupan, Kebebasan, dan Pencarian Kebahagiaan"[5] atau "Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan"[6]

Sejak awal, banyak filsuf mempertimbangkan konsep kebebasan. Kaisar Roma, Marcus Aurelius memiliki gagasan sebagai berikut:

"Sebuah pemerintahan di mana ada hukum yang adil untuk semua orang, sebuah pemerintahan yang dijalankan dengan memperhatikan kesetaraan persamaan hak dan kebebasan berbicara, dan gagasan tentang pemerintahan raja yang menghormati hampir semua kebebasan rakyatnya."[7]

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679):

"Orang yang bebas adalah seseorang yang dalam berbagai hal menggunakan kekuatan dan kecerdasan yang dimiliki, mampu melakukan apa yang dia ingin lakukan tanpa terhalang apapun.— Leviathan, Bagian 2, Bab. XXI.

John Locke (1632-1704) menolak definisi kebebasan tersebut. Meskipun tidak secara spesifik menyebut Hobbes, dia menyerang Sir Robert Filmer yang memiliki definisi yang sama. Menurut Locke:

"Dalam keadaan alami, kebebasan berarti bebas dari kekuatan superior apa pun yang ada di Bumi. Orang yang tidak berada di bawah kehendak atau otoritas pembuat hukum orang lain tetapi hanya memiliki hukum alam untuk aturan mereka.

Dalam masyarakat politik, kebebasan berarti tidak berada di bawah kekuasaan pembuat undang-undang lain kecuali yang ditetapkan dengan persetujuan di persemakmuran. Orang-orang bebas dari kekuasaan kehendak atau pengekangan hukum apa pun selain dari yang ditetapkan oleh kekuatan pembuat undang-undang mereka sendiri menurut kepercayaan yang diberikan padanya.

Jadi, kebebasan tidak seperti yang didefinisikan Sir Robert Filmer: 'Kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan apa yang dia suka, untuk hidup sesukanya, dan tidak terikat oleh hukum apa pun.'

Kebebasan dibatasi oleh hukum, baik dalam keadaan alam maupun masyarakat politik. Kebebasan alam tidak boleh dikendalikan kecuali oleh hukum alam. Kebebasan orang-orang di bawah pemerintahan tidak boleh dikekang selain dari aturan yang dibuat pembuat undang-undang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Orang memiliki hak atau kebebasan untuk (1) mengikuti kehendaknya sendiri dalam segala hal yang tidak dilarang oleh hukum dan (2) tidak tunduk pada kehendak orang lain yang tidak tetap, tidak pasti, tidak diketahui, dan sewenang-wenang.[8]

John Stuart Mill (1806–1873), melalui karya-karyanya, memengaruhi pemikiran Inggris kontemporer, nilai kebebasan juga selalu ia kampanyekan dalam kehidupannya.[9]

Mill menawarkan penelusuran dalam pernyataan dari tirani lembek dan kebebasan mutual dengan prinsip gangguan.[10] Keseluruhan, penting untuk memahami konsep ini ketika mendiskusikan kebebasan karena semuanya mewakili bagian kecil dari teka-teki besar yang dikenal dengan Kebebasan (filosofi). Dalam pengertian filosofis, moralitas harus berada di atas tirani dalam semua bentuk pemerintahan yang sah. Jika tidak, orang akan dibiarkan berada dalam sistem sosial yang diakari oleh keterbelakangan, ketidakteraturan, dan regresi.

Dalam bukunya Two Concepts of Liberty, Isaiah Berlin secara formal memaknai perbedaan antara dua perspektif sebagai pembeda antara dua konsep kebebasan yang berlawanan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Pada kondisi kebebasan negatif, seorang individu dilindungi dari tirani dan penggunaan otoritas yang sewenang-wenang. Sedangkan, pada kondisi positif, mengacu pada kebebasan yang berasal dari penguasaan diri dan paksaan batin seperti kelemahan maupun ketakutan.[11]

Konsep modern terkait kebebasan politik berasal dari pemahaman Yunani tentang kebebasan dan perbudakan.[12] Dalam konsep Yunani, menjadi individu bebas tidak berarti dikuasai orang lain, mandiri dari penguasa atau hidup sesuka hati.[13] Anggapan tersebut merupakan konsep asli Yunani tentang kebebasan. Hal ini terkait pula pada konsep demokrasi yang dikemukakan Aristoteles:

"Hal ini selanjutnya merupakan satu konsep kebebasan yang ditegaskan sebagai prinsip negara demokrat. Adapun hal lainnya yakni seseorang harus hidup sesukanya. Menurut mereka, kebebasan adalah hak istimewa orang yang merdeka karena di sisi lain, mereka yang tidak hidup seperti secara normal sebagai manusia adalah tanda seorang budak. Hal ini merupakan karakteristik kedua dari demokrasi, di mana telah muncul pendapat bahwa manusia seharusnya tidak diperintah oleh siapa pun, jika mungkin ataupun tidak, mereka dapat mengatur dan diatur secara bergiliran; dan dengan demikian ia berkontribusi pada kebebasan berdasarkan kesetaraan."[14]

Hal ini hanya berlaku untuk orang yang bebas atau merdeka. Di Athena, misalnya, perempuan tidak dapat memilih atau memegang jabatan karena secara hukum dan sosial, perempuan dianggap bergantung pada kerabat laki-laki.[15]

Penduduk Kekaisaran Persia menikmati beberapa tingkatan kebebasan. Warga dari semua agama dan kelompok etnis diberi hak maupun kebebasan beragama yang sama, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dan perbudakan dihapuskan (550 SM). Semua istana raja Persia dibangun oleh pekerja yang dibayar, di mana pada masa itu pekerjaan tersebut dikerjakan para budak yang tidak dibayar.[16]

Di Kekaisaran Maurya di India kuno, masyarakat dari semua agama dan kelompok etnis memiliki beberapa hak atas kebebasan, toleransi, dan kesetaraan. Perlunya toleransi atas dasar egaliter dapat ditemukan dalam Fatwa Ashoka Agung, di mana fatwa tersebut menekankan pentingnya toleransi dalam kebijakan publik oleh pemerintah. Pembantaian atau penangkapan tawanan perang juga telah dikutuk oleh Ashoka pada masa itu.[17]

Teori kontrak sosial merupakan teori paling berpengaruh yang dirumuskan oleh Hobbes, John Locke, dan Rousseau (meskipun pertama kali disarankan oleh Plato dalam The Republic). Teori ini termasuk yang pertama memberikan klasifikasi politik hak, khususnya melalui gagasan kedaulatan dan hak alami. Para pemikir Abad Pencerahan mengungkapkan bahwa hukum mengatur urusan surgawi dan manusia. Lebih lanjut, teori tersebut mengungkap bahwa hukum itu memberi kekuasaan untuk raja, bukan sebaliknya, kekuasaan raja yang memberi kekuatan hukum. Konsepsi hukum ini akan menemukan puncaknya dalam ide-ide Montesquieu. Konsepsi hukum dianggap sebagai hubungan antar individu, bukan keluarga yang difokuskan pada peningkatan kebebasan individu sebagai realitas fundamental, yang diberikan oleh "Alam dan Tuhan Alam". Di mana pada keadaan yang ideal hukum tersebut akan berubah menjadi seuniversal mungkin.

Inggris dan Britania Raya merumuskan landasan konsep kebebasan individu. Pada tahun 1066, sebagai syarat penobatannya, William Sang Penakluk menyetujui Piagam Kebebasan London yang menjamin kebebasan "Saxon" Kota London.

Pada 1100, Piagam Kebebasan disahkan di mana menetapkan kebebasan tertentu bagi para bangsawan, pejabat gereja, dan individu.

Pada tahun 1166, Henry II dari Inggris mengubah hukum Inggris dengan mengeluarkan Assize of Clarendon. Tindakan tersebut merupakan cikal bakal pengadilan oleh juri dan memulai penghapusan pengadilan dengan pertempuran dan percobaan.

Pada tahun 1187-1189 terbit sebuah publikasi Tractatus de legibus et consuetudinibus regni Anglie yang berisi definisi otoriter tentang kebebasan dan penghambaan:

Kebebasan adalah kemampuan alami untuk melakukan apa yang disukai setiap orang sesuai dengan keinginannya, kecuali apa yang dilarang oleh hak atau paksaan. Berbeda dengan kebebasan, penghambaan dapat dikatakan sebaliknya, seolah-olah setiap orang harus terikat pada perjanjian untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukannya.[18]

Pada tahun 1215 ketika Magna Carta diberlakukan, hal ini menjadi landasan kebebasan di Inggris untuk pertama kalinya, kemudian merambah ke Inggris Raya, hingga akhirnya dasar kebebasan dunia.[19][20]

Berdasarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 tertulis bahwa: Semua orang memiliki hak alami untuk "hidup, bebas, dan mengejar kebahagiaan". Namun, deklarasi kebebasan ini sejak awal terhalang oleh perbudakan kulit hitam yang dilegalkan. Pemilik budak berpendapat bahwa kebebasan mereka adalah yang terpenting karena melibatkan properti dan budak mereka, serta bahwa orang kulit hitam tidak memiliki hak yang wajib diakui oleh orang kulit putih mana pun.[21]

Dalam keputusan Dred Scott, Mahkamah Agung menjunjung tinggi prinsip ini. Baru pada tahun 1866, setelah Perang Saudara, Konstitusi AS diubah untuk memperluas hak-hak kewarganegaraan kepada orang kulit berwarna.[22] Kemudian pada tahun 1920 hak-hak ini diperluas kepada wanita.

Jakarta - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra menyampaikan keprihatinan mendalam atas laporan terkait adanya dugaan pelarangan penggunaan jilbab pada sebuah rumah sakit swasta di kawasan Jakarta Selatan. Tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)yang telah dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan Indonesia.

"Dalam konteks Hak Asasi Manusia, kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak fundamental yang diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan harus dijamin oleh negara. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, sementara Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya," ujar Dirjen HAM.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga dengan jelas mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut keyakinannya. Pasal 22 UU No. 39/1999 menegaskan bahwa negara harus melindungi hak asasi manusia terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam hal ekspresi keyakinan melalui cara berpakaian seperti penggunaan jilbab.

Dirjen HAM menambahkan bahwa pelarangan penggunaan jilbab di sektor layanan publik tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencederai semangat pluralisme dan toleransi yang merupakan bagian dari identitas bangsaIndonesia. "Sektor layanan publik, termasuk rumah sakit dan lembaga-lembaga pemerintah, seharusnya menjadi teladan dalam menghormati dan melindungi hak-hak individu, termasuk hak untuk menjalankan keyakinan agamanya secara bebas," tegasnya.

Dalam upaya menindaklanjuti isu ini, Dirjen HAM merencanakan pengiriman tim yang akan berkomunikasi langsung dengan pihak-pihak terkait di lapangan untuk memahami kondisi yang sebenarnya. Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa hak asasi manusia, terutama kebebasan beragama, dihormati dan dijaga di seluruh sektor pelayanan publik.

Dirjen HAM juga menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan Pasal 71 UU No. 39/1999 yang menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawabmenghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 5 dan ditegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukandiskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya, karena pada dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras, maupun aliran politik.

"Sebagai bagian dari komitmen negara dalam menegakkan HAM, kami mengimbau semua pihak di sektor layanan publik untuk menghormati hak-hak beragama dan memastikan bahwa kebijakan internal mereka tidak diskriminatif atau melanggar hak asasi manusia," ujar Dirjen HAM.

"Jajaran kami akan turun langsung berkomunikasi dengan pihak Manajemen Rumah Sakit dimaksud untuk mendapatkan klarifikasi dan berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Jakarta Selatan terkait permasalahan ini, ujar Dhahana.

Dhahana mengajak agar semua pihak untuk bersama-sama menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama sebagai fondasi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Indonesia adalah negara yang beragam, dan keberagaman ini harus dijaga dengan sikap saling menghormati dan menghargai. Larangan penggunaan jilbab tidak hanya melanggar hak asasi, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar yang kita junjung tinggi sebagai bangsa yang beradab."

Lambang Tanda Kecakapan Umum (TKU)

Tanda Kecakapan Umum (TKU) merupakan lambang yang diberikan kepada anggota Pramuka sebagai pengakuan atas pencapaian tertentu dalam bidang keterampilan, pengetahuan, dan sikap. Lambang TKU terdiri dari tiga tingkatan: • Siaga: Lambangnya adalah bunga matahari, melambangkan keceriaan dan semangat belajar. • Penggalang: Lambangnya adalah tali simpul, melambangkan persatuan dan kekompakan. • Penegak dan Pandega: Lambangnya adalah dua bintang, melambangkan kecakapan dan kedewasaan.

Ular adalah reptil predator dalam ordo Squamata, dengan hampir 4.000 spesies tersebar di seluruh dunia. Mereka sering diasosiasikan dengan dunia bawah.

Di Alkitab, ular sering kali melambangkan Setan atau Lucifer, sebagai simbol entitas jahat yang membawa kematian, kutukan, dan penyakit. Banyak spesies ular memiliki bisa mematikan, dan beberapa dapat menyebabkan kematian secara langsung. Selain itu, ada yang bersifat konstriktor, yang artinya meskipun tidak berbisa, mereka dapat membunuh mangsanya dengan cara membatasi pernapasannya.

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by Pramuka Kota Blitar

Lambang negara India adalah adaptasi dari hulu tiang Singa Asoka dari Sarnath.

Maharaja Asoka yang Agung mendirikan hulu tiang yang menghiasi puncak Pilar Asoka untuk menandai titik tempat Buddha Gautama mengajarkan Dharma untuk pertama kalinya, serta tempat di mana Sangha Buddha dibentuk. Aslinya terdapat empat Singa asia berdiri saling membelakangi dan berdiri di landasan abakus melingkar yang dihiasi ukiran relief timbul bergambar gajah, kuda, lembu, dan singa yang diselingi ukiran Dharmacakra atau Cakram Asoka. Di dasarnya dilandasi teratai berbentuk lonceng. Tugu ini diukir dari satu batu utuh.

Keempat singa ini (satu terhalang dari pandangan) - melambangkan kekuatan, keberanian, harga diri, dan keyakinan - berdiri di atas landasan abakus melingkar. Landasan ini berukir hewan yang lebih kecil yang menjaga empat arah mata angin: singa di utara, gajah di timur, kuda di selatan, dan lembu di barat. Landasan ini ditopang teratai mekar yang melambangkan hulu sumber air kehidupan dan inspirasi kreatif. Versi yang digunakan dalam lambang negara tidak memasukkan lapik atau landasan bunga teratai. relief di bawah singa hanya menampilkan Dharmacakra di tengah dengan lembu di kanan dan kuda di kiri, serta tepi Dharmacakra di ujungnya.[1] Semboyan Satyameva Jayate सत्यमेव जयते dituliskan di bawah lambang dalam aksara Dewanagari yang bermakna 'hanya kebenaran yang berjaya'.[1]

Lambang ini dresmikan sebagai lambang negara India pada 26 Januari 1950, pada saat itu India telah menjadi republik merdeka.[2]

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 dan untuk mengetahui penerapan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan di Indonesia sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dapat disimpulkan bahwa pengaturan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 yaitu dimana disebutkan bahwa Pasal 29 Ayat (1) berdasarkan pada Sila Pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjelaskan tentang bangsa Indonesia yang melarang ketidakpercayaan terhadap Tuhan. Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan ketuhanan dan tidak mementingkan salah satu agama dan bukan sebagai negara sekuler. Pasal 29 Ayat (2) yaitu dimana negara menjamin kemerdekaan penduduknya untuk memeluk agama dan beribadah. Negara tidak hanya menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah, melainkan sekaligus negara akan melindungi, membina dan mengarahkan kehidupan beragama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Penerapan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan di Indonesia sebagai bagian dari hak asasi manusia masih sungguh sangat memprihatinkan karena masih banyaknya kasus pelanggaran kebebasan beragama. Meskipun kebebasan beragama masih menjadi masalah, pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelesaikannya, tindakan tegas dan hukuman yang sesuai harus diberikan untuk pelanggaran atau kejahatan.

Kata Kunci: Hukum, Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan, Hak Asasi Manusia.

Makna Simbol Lambang Koperasi :

GERAKAN Pramuka adalah salah satu gerakan kepanduan yang terkenal di Indonesia, dan memiliki berbagai lambang yang sarat dengan makna filosofis. Lambang-lambang ini bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, prinsip, dan semangat Pramuka. Mari kita kenali beberapa lambang Pramuka beserta artinya.

Lambang utama Gerakan Pramuka Indonesia adalah Tunas Kelapa. Lambang ini diciptakan oleh Soenardjo Atmodipuro dan diresmikan pada tanggal 14 Agustus 1961. Tunas Kelapa dipilih sebagai lambang karena pohon kelapa dikenal memiliki banyak manfaat dan dapat tumbuh subur di berbagai tempat di Indonesia, menggambarkan Pramuka yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat di mana pun berada. Makna Simbolik • Tunas Kelapa: Melambangkan generasi muda yang penuh potensi untuk berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat. • Pohon Kelapa: Melambangkan kekuatan, ketahanan, dan keteguhan. • Buah Kelapa yang Tumbuh Tinggi: Menggambarkan cita-cita yang tinggi dan semangat yang kokoh dalam mencapai tujuan.

Lambang Satuan Karya (Saka) Pramuka

Satuan Karya Pramuka, atau biasa disebut Saka, memiliki berbagai lambang yang mewakili bidang-bidang khusus dalam Pramuka. Berikut beberapa contoh lambang Saka: • Saka Dirgantara: Di dalam lambang terdapat gambar pesawat terbang dan roket, sepasang tunas kelapa, bintang, dan tulisan SAKA DIRGANTARA. melambangkan kedirgantaraan dan semangat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penerbangan. Saka Dirgantara menyediakan pelatihan dan pendidikan di bidang kedirgantaraan, dengan tujuan agar para anggota pramuka dapat berkontribusi dan memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara setelah menyelesaikan proses tersebut. • Saka Bhayangkara: Di dalam lambang terdapat perisai, bintang, obor, gambar lambang gerakan pramuka dan tulisan SAKA BHAYANGKARA. melambangkan keberanian dan kesiapan dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Saka Bhayangkara berfungsi sebagai pusat pelatihan dan pendidikan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Diharapkan, para anggota pramuka nantinya dapat memberikan manfaat dan mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara. • Saka Wira Kartika: Lambang Saka WIra Kartika berbentuk segilima beraturan yang memuat Lambang Eka Paksi, dua buah tunas kelapa gerakan pramuka, dua batang padi yang menguning dan tulisan SAKA WIRA KATIKA . Saka Wira Kartika berfokus pada pendidikan dan pelatihan bela negara, dengan bimbingan dari TNI AD (Angkatan Darat). Program ini dirancang untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang bela negara kepada para anggotanya. • Saka Bakti Husada: Lambangnya berbentuk segilima beraturan, yang memuat lambang kesehatan, dua buah tunas kelapa, bintang dan tulisan SAKA BAKTI HUSADA. Saka Bakti Husada, ini menyediakan pelatihan dan pendidikan keterampilan di bidang kesehatan. Setelah menyelesaikan pendidikan di saka ini, para anggota pramuka diharapkan dapat mengabdikan diri mereka kepada masyarakat dalam bidang kesehatan.

Baca juga : Skill Bertahan Hidup yang Diajarkan dalam Pramuka

Lambang Tanda Kecakapan Khusus (TKK)

Tanda Kecakapan Khusus (TKK) diberikan kepada Pramuka yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. Lambang TKK berbentuk bulat dengan gambar yang sesuai dengan bidang keahlian yang dicapai, seperti memasak, pertanian, olahraga, seni, dan lain-lain.